1). Ibnu Batuta
Abu Abdullah Muhammad bin Battutah (24 Februari 1304 - 1368 atau 1377) adalah seorang pengembara Berber Maroko. Atas dorongan Sultan Maroko, Ibnu Batutah mendiktekan beberapa perjalanan pentingnya kepada seorang sarjana bernama Ibnu Juzay, yang ditemuinya ketika sedang berada di Iberia. Meskipun mengandung beberapa kisah fiksi, Rihlah merupakan catatan perjalanan dunia terlengkap yang berasal dari abad ke-14.
Hampir semua yang diketahui tentang kehidupan Ibnu Batutah datang dari dirinya sendiri.
Meskipun dia mengiklankan bahawa hal-hal yang diceritakannya adalah apa yang dia lihat atau dia alami, kita tak bisa tahu kebenaran dari cerita tersebut. Lahir di Tangier, Maroko antara tahun 1304 dan 1307, pada usia sekitar dua puluh tahun Ibnu Batutah berangkat haji -- ziarah ke Mekah. Setelah selesai, dia melanjutkan perjalanannya hingga melintasi 120.000 kilometer sepanjang dunia Muslim (sekitar 44 negara modern).
Perjalanannya ke Mekah melalui jalur darat, menyusuri pantai Afrika Utara hingga tiba di Kairo. Pada titik ini ia masih berada dalam wilayah Mamluk, yang relatif aman. Jalur yang umu digunakan menuju Mekah ada tiga, dan Ibnu Batutah memilih jalur yang paling jarang ditempuh: pengembaraan menuju sungai Nil, dilanjutkan ke arah timur melalui jalur darat menuju dermaga Laut Merah di 'Aydhad. Tetapi, ketika mendekati kota tersebut, ia dipaksa untuk kembali dengan alasan pertikaian lokal.
Kembail ke Kairo, ia menggunakan jalur kedua, ke Damaskus (yang selanjutnya dikuasai Mamluk), dengan alasan keterangan/anjuran seseorang yang ditemuinya di perjalanan pertama, bahwa ia hanya akan sampai di Mekah jika telah melalui Suriah. Keuntungan lain ketika memakai jalur pinggiran adalah ditemuinya tempat-tempat suci sepanjang jalur tersebut -- Hebron, Yerusalem, dan Betlehem, misalnya -- dan bahwa penguasa Mamluk memberikan perhatian khusus untuk mengamankan para peziarah.
Setelah menjalani Ramadhan di Damaskus, Ibnu Batutah bergabung dengan suatu rombongan yang menempuh jarak 800 mil dari Damaskus ke Madinah, tempat dimakamkannya Muhammad. Empat hari kemudian, dia melanjutkan perjalanannya ke Mekah. Setelah melaksanakan rangkaian ritual haji, sebagai hasil renungannya, dia kemudian memutuskan untuk melanjutkan mengembara. Tujuan selanjutnya adalah Il-Khanate (sekarang Iraq dan Iran.
Dengan cara bergabung dengan suatu rombongan, dia melintasi perbatasan menuju Mesopotamia dan mengunjungi najaf, tempat dimakamkannya khalifah keempat Ali. Dari sana, dia melanjutkan ke Basrah, lalu Isfahan, yang hanya beberapa dekade jaraknya dengan penghancuran oleh Timur. Kemudian Shiraz dan Baghdad (Baghdad belum lama diserang habis-habisan oleh Hulagu Khan).
Di sana ia bertemu Abu Sa'id, pemimpin terakhir Il-Khanate. Ibnu Batutah untuk sementara mengembara bersama rombongan penguasa, kemudian berbelok ke utara menuju Tabriz di Jalur Sutra. Kota ini merupakan gerbang menuju Mongol, yang merupakan pusat perdagangan penting.
Setelah perjalanan ini, Ibnu Batutah kembali ke Mekah untuk haji kedua, dan tinggal selama setahun sebelum kemudian menjalani pengembaraan kedua melalui Laut Merah dan pantai Afrika Timur. Persinggahan pertamanya adalah Aden, dengan tujuan untuk berniaga menuju Semenanjung Arab dari sekitar Samudera Indonesia. Akan tetapi, sebelum itu, ia memutuskan untuk melakukan petualangan terakhir dan mempersiapkan suatu perjalanan sepanjang pantai Afrika.
Menghabiskan sekitar seminggu di setiap daerah tujuannya, Ibnu Batutah berkunjung ke Ethiopia, Mogadishu, Mombasa, Zanzibar, Kilwa, dan beberapa daerah lainnya. Mengikuti perubahan arah angin, dia bersama kapal yang ditumpanginya kembali ke Arab selatan. Setelah menyelesaikan petualangannya, sebelum menetap, ia berkunjung ke Oman dan Selat Hormuz. Setelah selesai, ia berziarah ke Mekah lagi.
Setelah setahun di sana, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan di kesultanan Delhi. Untuk keperluan bahasa, dia mencari penterjemah di Anatolia. Kemudian di bawah kendali Turki Saljuk, ia bergabung dengan sebuah rombongan menuju India. Pelayaran laut dari Damaskus mendaratkannya di Alanya di pantai selatan Turki sekarang. Dari sini ia berkelana ke Konya dan Sinope di pantai Laut Hitam.
Setelah menyeberangi Laut Hitam, ia tiba di Kaffa, di Crimea, dan memasuki tanah Golden Horde. Dari sana ia membeli kereta dan bergabung dengan rombongan Ozbeg, Khan dari Golden Horde, dalam suatu perjalanan menuju Astrakhan di Sungai Volga.
Hampir semua yang diketahui tentang kehidupan Ibnu Batutah datang dari dirinya sendiri.
Meskipun dia mengiklankan bahawa hal-hal yang diceritakannya adalah apa yang dia lihat atau dia alami, kita tak bisa tahu kebenaran dari cerita tersebut. Lahir di Tangier, Maroko antara tahun 1304 dan 1307, pada usia sekitar dua puluh tahun Ibnu Batutah berangkat haji -- ziarah ke Mekah. Setelah selesai, dia melanjutkan perjalanannya hingga melintasi 120.000 kilometer sepanjang dunia Muslim (sekitar 44 negara modern).
Perjalanannya ke Mekah melalui jalur darat, menyusuri pantai Afrika Utara hingga tiba di Kairo. Pada titik ini ia masih berada dalam wilayah Mamluk, yang relatif aman. Jalur yang umu digunakan menuju Mekah ada tiga, dan Ibnu Batutah memilih jalur yang paling jarang ditempuh: pengembaraan menuju sungai Nil, dilanjutkan ke arah timur melalui jalur darat menuju dermaga Laut Merah di 'Aydhad. Tetapi, ketika mendekati kota tersebut, ia dipaksa untuk kembali dengan alasan pertikaian lokal.
Kembail ke Kairo, ia menggunakan jalur kedua, ke Damaskus (yang selanjutnya dikuasai Mamluk), dengan alasan keterangan/anjuran seseorang yang ditemuinya di perjalanan pertama, bahwa ia hanya akan sampai di Mekah jika telah melalui Suriah. Keuntungan lain ketika memakai jalur pinggiran adalah ditemuinya tempat-tempat suci sepanjang jalur tersebut -- Hebron, Yerusalem, dan Betlehem, misalnya -- dan bahwa penguasa Mamluk memberikan perhatian khusus untuk mengamankan para peziarah.
Setelah menjalani Ramadhan di Damaskus, Ibnu Batutah bergabung dengan suatu rombongan yang menempuh jarak 800 mil dari Damaskus ke Madinah, tempat dimakamkannya Muhammad. Empat hari kemudian, dia melanjutkan perjalanannya ke Mekah. Setelah melaksanakan rangkaian ritual haji, sebagai hasil renungannya, dia kemudian memutuskan untuk melanjutkan mengembara. Tujuan selanjutnya adalah Il-Khanate (sekarang Iraq dan Iran.
Dengan cara bergabung dengan suatu rombongan, dia melintasi perbatasan menuju Mesopotamia dan mengunjungi najaf, tempat dimakamkannya khalifah keempat Ali. Dari sana, dia melanjutkan ke Basrah, lalu Isfahan, yang hanya beberapa dekade jaraknya dengan penghancuran oleh Timur. Kemudian Shiraz dan Baghdad (Baghdad belum lama diserang habis-habisan oleh Hulagu Khan).
Di sana ia bertemu Abu Sa'id, pemimpin terakhir Il-Khanate. Ibnu Batutah untuk sementara mengembara bersama rombongan penguasa, kemudian berbelok ke utara menuju Tabriz di Jalur Sutra. Kota ini merupakan gerbang menuju Mongol, yang merupakan pusat perdagangan penting.
Setelah perjalanan ini, Ibnu Batutah kembali ke Mekah untuk haji kedua, dan tinggal selama setahun sebelum kemudian menjalani pengembaraan kedua melalui Laut Merah dan pantai Afrika Timur. Persinggahan pertamanya adalah Aden, dengan tujuan untuk berniaga menuju Semenanjung Arab dari sekitar Samudera Indonesia. Akan tetapi, sebelum itu, ia memutuskan untuk melakukan petualangan terakhir dan mempersiapkan suatu perjalanan sepanjang pantai Afrika.
Menghabiskan sekitar seminggu di setiap daerah tujuannya, Ibnu Batutah berkunjung ke Ethiopia, Mogadishu, Mombasa, Zanzibar, Kilwa, dan beberapa daerah lainnya. Mengikuti perubahan arah angin, dia bersama kapal yang ditumpanginya kembali ke Arab selatan. Setelah menyelesaikan petualangannya, sebelum menetap, ia berkunjung ke Oman dan Selat Hormuz. Setelah selesai, ia berziarah ke Mekah lagi.
Setelah setahun di sana, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan di kesultanan Delhi. Untuk keperluan bahasa, dia mencari penterjemah di Anatolia. Kemudian di bawah kendali Turki Saljuk, ia bergabung dengan sebuah rombongan menuju India. Pelayaran laut dari Damaskus mendaratkannya di Alanya di pantai selatan Turki sekarang. Dari sini ia berkelana ke Konya dan Sinope di pantai Laut Hitam.
Setelah menyeberangi Laut Hitam, ia tiba di Kaffa, di Crimea, dan memasuki tanah Golden Horde. Dari sana ia membeli kereta dan bergabung dengan rombongan Ozbeg, Khan dari Golden Horde, dalam suatu perjalanan menuju Astrakhan di Sungai Volga.
2). Ibnu Sinna
Ibnu Sina merupakan doktor Islam yang terulung. Sumbangannya dalam bidang perubatan bukan sahaja diperakui oleh dunia Islam tetapi juga oleh para sarjana Barat. Nama sebenar Ibnu Sina ialah Abu Ali al-Hussian Ibnu Abdullah. Tetapi di Barat, beliau lebih dikenali sebagai Avicenna.Ibnu Sina dilahirkan pada tahun 370 Hijrah bersamaan dengan 980 Masihi. Pengajian peringkat awalnya bermula di Bukhara dalam bidang bahasa dan sastera. Selain itu, beliau turut mempelajari ilmu-ilmu lain seperti geometri, logik, matematik, sains, fiqh, dan perubatan.
Walaupun Ibnu Sina menguasai pelbagai ilmu pengetahuan termasuk falsafah tetapi beliau lebih menonjol dalam bidang perubatan sama ada sebagai seorang doktor ataupun mahaguru ilmu tersebut.
Ibnu Sina mula menjadi terkenal selepas berjaya menyembuhkan penyakit Putera Nub Ibn Nas al-Samani yang gagal diubati oleh doktor yang lain. Kehebatan dan kepakaran dalam bidang perubatan tiada tolok bandingnya sehingga beliau diberikan gelaran al-Syeikh al-Rais (Mahaguru Pertama).
Kemasyhurannya melangkaui wilayah dan negara Islam. Bukunya Al Qanun fil Tabib telah diterbitkan diRom pada tahun 1593 sebelum dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul Precepts of Medicine. Dalam jangka masa tidak sampai 100 tahun, buku itu telah dicetak ke dalam 15 buah bahasa. Pada abad ke-17, buku tersebut telah dijadikan sebagai bahan rujukan asas diuniversiti-universiti Itali dan Perancis. Malahan sehingga abad ke-19, bukunya masih diulang cetak dan digunakan oleh para pelajar perubatan.
Ibnu Sina juga telah menghasilkan sebuah buku yang diberi judul Remedies for The Heart yang mengandungi sajak-sajak perubatan. Dalam buku itu, beliau telah menceritakan dan menghuraikan 760 jenis penyakit bersama dengan cara untuk mengubatinya. Hasil tulisan Ibnu Sina sebenarnya tidak terbatas kepada ilmu perubatan sahaja. Tetapi turut merangkumi bidang dan ilmu lain seperti metafizik, muzik, astronomi, philologi (ilmu bahasa), syair, prosa, dan agama.
Penguasaannya dalam pelbagai bidang ilmu itu telah menjadikannya seorang tokoh sarjana yang serba boleh. Beliau tidak sekadar menguasainya tetapi berjaya mencapai tahap zenith iaitu puncak kecemerlangan tertinggi dalam bidang yang diceburinya.
Di samping menjadi zenith dalam bidang perubatan, Ibnu Sina juga menduduki ranking yang tinggi dalam bidang ilmu logik sehingga digelar guru ketiga. Dalam bidang penulisan, Ibnu Sina telah menghasilkan ratusan karya termasuk kumpulan risalah yang mengandungi hasil sastera kreatif.
Perkara yang lebih menakjubkan pada Ibnu Sina ialah beliau juga merupakan seorang ahli falsafah yang terkenal. Beliau pernah menulis sebuah buku berjudul al-Najah yang membicarakan persoalan falsafah. Pemikiran falsafah Ibnu Sina banyak dipengaruhi oleh aliran falsafah al-Farabi yang telah menghidupkan pemikiran Aristotle. Oleh sebab itu, pandangan perubatan Ibnu Sina turut dipengaruhi oleh asas dan teori perubatan Yunani khususnya Hippocrates.
Perubatan Yunani berasaskan teori empat unsur yang dinamakan humours iaitu darah, lendir (phlegm), hempedu kuning (yellow bile), dan hempedu hitam (black bile). Menurut teori ini, kesihatan seseorang mempunyai hubungan dengan campuran keempat-empat unsur tersebut. Keempat-empat unsur itu harus berada pada kadar yang seimbang dan apabila keseimbangan ini diganggu maka seseorang akan mendapat penyakit.
Setiap individu dikatakan mempunyai formula keseimbangan yang berlainan. Meskipun teori itu didapati tidak tepat tetapi telah meletakkan satu landasan kukuh kepada dunia perubatan untuk mengenal pasti punca penyakit yang menjangkiti manusia. Ibnu Sina telah menapis teori-teori kosmogoni Yunani ini dan mengislamkannya.
Ibnu Sina percaya bahawa setiap tubuh manusia terdiri daripada empat unsur iaitu tanah, air, api, dan angin. Keempat-empat unsur ini memberikan sifat lembap, sejuk, panas, dan kering serta sentiasa bergantung kepada unsur lain yang terdapat dalam alam ini. Ibnu Sina percaya bahawa wujud ketahanan semula jadi dalam tubuh manusia untuk melawan penyakit. Jadi, selain keseimbangan unsur-unsur yang dinyatakan itu, manusia juga memerlukan ketahanan yang kuat dalam tubuh bagi mengekalkan kesihatan dan proses penyembuhan.
Pengaruh pemikiran Yunani bukan sahaja dapat dilihat dalam pandangan Ibnu Sina mengenai kesihatan dan perubatan, tetapi juga bidang falsafah. Ibnu Sina berpendapat bahawa matematik boleh digunakan untuk mengenal Tuhan. Pandangan seumpama itu pernah dikemukakan oleh ahli falsafah Yunani seperti Pythagoras untuk menghuraikan mengenai sesuatu kejadian. Bagi Pythagoras, sesuatu barangan mempunyai angka-angka dan angka itu berkuasa di alam ini. Berdasarkan pandangan itu, maka Imam al-Ghazali telah menyifatkan fahaman Ibnu Sina sebagai sesat dan lebih merosakkan daripada kepercayaan Yahudi dan Nasrani.
Sebenarnya, Ibnu Sina tidak pernah menolak kekuasaan Tuhan. Dalam buku An-Najah, Ibnu Sina telah menyatakan bahawa pencipta yang dinamakan sebagai "Wajib al-Wujud" ialah satu. Dia tidak berbentuk dan tidak boleh dibahagikan dengan apa-apa cara sekalipun. Menurut Ibnu Sina, segala yang wujud (mumkin al-wujud) terbit daripada "Wajib al-Wujud" yang tidak ada permulaan.
Tetapi tidaklah wajib segala yang wujud itu datang daripada Wajib al-Wujud sebab Dia berkehendak bukan mengikut kehendak. Walau bagaimanapun, tidak menjadi halangan bagi Wajib al-Wujud untuk melimpahkan atau menerbitkan segala yang wujud sebab kesempurnaan dan ketinggian-Nya.
Pemikiran falsafah dan konsep ketuhanannya telah ditulis oleh Ibnu Sina dalam bab "Himah Ilahiyyah" dalam fasal "Tentang adanya susunan akal dan nufus langit dan jirim atasan.
Pemikiran Ibnu Sina ini telah rnencetuskan kontroversi dan telah disifatkan sebagai satu percubaan untuk membahaskan zat Allah. Al-Ghazali telah menulis sebuah buku yang berjudul Tahafat al'Falasifah (Tidak Ada Kesinambungan Dalam Pemikiran Ahli Falsafah) untuk membahaskan pemikiran Ibnu Sina dan al-Farabi.
Antara percanggahan yang diutarakan oleh al-Ghazali ialah penyangkalan terhadap kepercayaan dalam keabadian planet bumi, penyangkalan terhadap penafian Ibnu Sina dan al-Farabi mengenai pembangkitan jasad manusia dengan perasaan kebahagiaan dan kesengsaraan di syurga atau neraka.
Walau apa pun pandangan yang dikemukakan, sumbangan Ibnu Sina dalam perkembangan falsafah Islam tidak mungkin dapat dinafikan. Bahkan beliau boleh dianggap sebagai orang yang bertanggungjawab menyusun ilmu falsafah dan sains dalam Islam. Sesungguhnya, Ibnu Sina tidak sahaja unggul dalam bidang perubatan tetapi kehebatan dalam bidang falsafah mengatasi gurunya sendiri iaitu al-Farabi.
3) Ibnu Maskawaih
Orang yang mengasaskan teori evolusiIbn Maskawaih atau nama sebenarnya Abu Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Yaakub bin Maskawaih merupakan ilmuwan Islam yang terpenting. Walaupun pemikiran falsafahnya tidak banyak dibicarakan tetapi beliau telah mengemukakan berbagai-bagai teori falsafah penting yang menjadi asas kepada pemikiran falsafah tokoh-tokoh selepasnya.
Pandangannya mengenai manusia dan perkembangan masyarakat bukan sahaja menjadi asas pemikiran kepada ilmuwan Islam yang lain seperti Ibnu Khaldun dan Jamaluddin Al Rini tetapi juga para sarjana Barat. Teori evolusi yang dikemukakannya telah dijadikan sebagai bahan kajian oleh Charles Darwin yang kemudiannya menerbitkan buku Origin of
Species mengenai kejadian dan asal-usul manusia.
Dalam buku tersebut, Charles Darwin telah menyatakan bahawa manusia berkembang secara evolusi daripada spesies hidupan yang paling ringkas kepada yang kompleks. Perkembangan itu berlaku secara perlahan-lahan dan mengambil masa yang lama. Hasil daripada kajian dan pemerhatiannya terhadap pelbagai spesies hidupan dan fosil di beberapa buah benua, beliau akhirnya membuat keputusan bahawa manusia sebenarnya berasal daripada beruk melalui proses evolusi.
Teori evolusinya telah menjadi kontroversi dan mendapat tentangan daripada pihak gereja kerana dia menafikan peranan Tuhan dalam menjadikan kehidupan di muka bumi ini. Namun begitu, teori berkenaan telah menjadikan Darwin terkenal dan dianggap sebagai pelopor teori evolusi yang digunakan oleh para sarjana dalam bidang antropologi dan sosiologi dalam menghuraikansejarah serta perjalanan manusia serta perkembangan masyarakat. Padahal teori evolusi telah lama digunakan oleh Ibn Maskawaih dalam kajiannya mengenai perabadan manusia.
Menurutnya, kecerdikan manusia tidaklah mengatasi kepintaran yang dimiliki oleh beruk. Tetapi manusia menjadi lebih cerdik kerana pengalaman yang mereka peroleh dalam kehidupan bermasyarakat. Bagi Ibn Maskawaih, manusia itu ialah sebuah dunia yang kecil dan padanya terdapat gambaran mengenai segala yang ada di dunia ini. Setiap manusia mempunyai peranannya yang tersendiri sama ada sebagai individu ataupun anggota masyarakat.
Pendapat beliau ini menepati "Teori Fungsi" yang dikemukakan oleh seorang ahli sosiologi Perancis yang bernama Auguste Comte. Sekiranya setiap anggota masyarakat melaksanakan peranan dan fungsinya maka masyarakat itu akan berada dalam keadaan yang stabil dan bersatu padu serta membolehkannya berkembang dengan teratur. Manakala sebarang gangguan terhadap fungsi itu akan mengakibatkan berlakunya konflik dan pergolakan dalam masyarakat.
Secara tidak langsung akan membawa keruntuhan kepada masyarakat tersebut. Jadi, tidak keterlaluan kalau di katakan bahawa Ibn Maskawaih juga merupakan pengasas kepada Teori Fungsi yang digunakan oleh para penganalisis sosial yang menjalankan kajian tentang masyarakat kuno dan moden. Walaupun beliau terdidik dalam bidang perubatan, tetapi minatnya yang mendalam terhadap ilmu, telah mendorongnya
mempelajari kesusasteraan, falsafah, kimia, bahasa, dan ilmu klasik yang lain.
Beliau menguasai dan mempunyai kepakaran setiap bidang yang dipelajarinya. Ibnu Maskawaih juga ahli sejarah dan ilmuwan akhlak yang handal. Semua ilmu pengetahuan itu tidak dipelajari sekali gus seperti yang sering dilakukan oleh sarjana Islam yang lain. Beliau mempelajarinya secara berperingkat-peringkat dan akhirnya mendapati bidang falsafah sesuai dengan dirinya sebagai seorang pemikir. Memulakan kerjayanya sebagai doktor sebelum dilantik menjadi setiausaha kepada beberapa orang menteri seperti Mueiz al Daulah.
Pengalaman tersebut memberikan beliau peluang yang luas untuk mendampingi masyarakat dan orang ramai. Selepas kematian Mueiz, beliau dilantik oleh Menteri Ibnu Amid menjadi ketua perpustakaan. Kesempatan ini telah digunakan untuk menelaah berbagai-bagai buku yang ditulis oleh para ilmuwan Islam dan Yunani. Selepas itu, beliau dilantik pula sebagai Ketua Pemegang Amanah Khazanah yang bertanggungjawab menjaga Perpustakaan Malik Adhdud Daulah yang memerintah dari tahun 367-372H. Dengan pengetahuan dan pengalaman yang ada padanya, Ibn Muskawaih telah berjaya membina ketokohannya sebagai seorang ilmuwan yang mempunyai pengetahuan yang luas dalam pelbagai bidang.
Banyak teori telah dihasilkan oleh beliau dan tidak terbatas kepada bidang falsafah semata-mata. Beliau menulis berbagai-bagai kitab yang membicarakan pelbagai persoalan. Antaranya Kitab al-Fauz al-Saghir yang menumpukan pembicaraan kepada persoalan yang berkaitan dengan metafizik iaitu tentang Allah, kerasulan dan jiwa. Kebanyakan pandangannya mengenai perkara ini disesuaikan daripada pandangan ahli falsafah Yunani. Kesan pemikiran falsafah Yunani terhadap Ibn Muskawaih dapat dilihat pada pandangannya mengenai jiwa.
Semasa mengungkap persoalan ini, beliau menyatakan bahawa jiwa merupakan roh yang berlainan daripada tubuh dan tidak mungkin dapat dilihat dan disentuh oleh pancaindera. Baginya jiwa sesuatu yangdapat menerima dua perkara pada satu masa yang sama seperti keadaan hitam dan putih pada satu waktu. Beliau juga telah mengemukakan teori akhlak dalam kitabnya yang berjudul kitab Tahzib al-Akhlaq. Dalam kitab itu, beliau menyebut kemuncak akhlak ialah apabila lahirnya perbuatan-perbuatan baik yang
dilakukan secara teratur.
Oleh itu, akhlak yang baik hanya akan lahir daripada jiwa yang bersih dan begitu juga sebaliknya.Untuk mendapat jiwa yang bersih maka anak-anak sejak kecil lagi harus didedahkan dengan nilai-nilai yang baik. Nilai-nilai buruk pula hanya akan mengganggu proses tumbesaran dan menyebabkan mereka membesar tanpa menghiraukan tatasusila. Anak-anak perlu dilatih pada peringkat awal tumbesaran supaya bersikap dan bertindak mengikut nilai-nilai ini agar sebati dengan diri serta sanubari mereka.
Ibnu Maskawaih turut menulis beberapa buah kitab yang lain seperti al'Adwiah al-Mufra-dah tentang ubat-ubatan, Uns al'Farid sebuah antologi cerpen, Tajarub al'Umarn sebuah catatan mengenai sejarah, al-Tabikh mengenai kaedah memasak, al'Asyribah yang membicarakan tentang minuman, al'Fauz al-Kabir, dan Tajrib al'Um. Berdasarkan banyak kitab yang ditulisnya maka ketokohannya sebagai ahli falsafah dan pengarang tidak dapat dinafikan. Idea dan pandangannya jelas mendahului zaman menjadikannya sebagai salah seorang ilmuwan serta sarjana Islam yang tiada tolok bandingan pada zamannya. Sesungguhnya Ibn Maskawaih yang dilahirkan pada 330H (941M) di Kota Rhages itu akan terus dikenang sebagai seorang ahli falsafah yang kaya dengan teori-teorinya.
4). Ibnu Haitham
Kajian sainsnya digunakan oleh BaratIslam sering kali diberikan gambaran sebagai agama yang mundur lagi memundurkan. Islam juga dikatakan tidak menggalakkan umatnya menuntut dan menguasai pelbagai
lapangan ilmu. Kenyataan dan gambaran yang diberikan itu bukan sahaja tidak benar tetapi bertentangan dengan hakikat sejarah yang sebenarnya.
Sejarah telah membuktikan betapa dunia Islam telah melahirkan ramai golongan sarjana dan ilmuwan yang cukup hebat dalam bidang falsafah, sains, politik, kesusasteraan, kemasyarakatan, agama, perubatan, dan sebagainya. Salah satu ciri yang dapat diperhatikan pada para tokoh ilmuwan Islam ialah mereka tidak sekadar dapat menguasai ilmu tersebut pada usia yang muda, malah dalam masa yang singkat dapat menguasai beberapa bidang ilmu secara serentak.
Walaupun tokoh itu lebih dikenali dalam bidang sains dan perubatan tetapi dia juga memiliki kemahiran yang tinggi dalam bidang agama, falsafah, dan seumpamanya. Salah seorang daripada tokoh tersebut ialah Ibnu Haitham atau nama sebenarnya Abu All Muhammad al-Hassan ibnu al-Haitham. Dalam kalangan cerdik pandai di Barat, beliau dikenali dengan nama Alhazen.
Ibnu Haitham dilahirkan di Basrah pada tahun 354H bersamaan dengan 965 Masihi. Beliau memulakan pendidikan awalnya di Basrah sebelum dilantik menjadi pegawai pemerintah di bandar kelahirannya. Setelah beberapa lama berkhidmat dengan pihak pemerintah di sana, beliau mengambil keputusan merantau ke Ahwaz dan Baghdad. Di perantauan beliau telah melanjutkan pengajian dan menumpukan perhatian pada penulisan. Kecintaannya kepada ilmu telah membawanya berhijrah ke Mesir.
Semasa di sana beliau telah mengambil kesempatan melakukan beberapa kerja penyelidikan mengenai aliran dan saliran Sungai Nil serta menyalin buku-buku mengenai matematik dan falak. Tujuannya adalah untuk mendapatkan wang saraan dalam tempoh pengajiannya di Universiti al-Azhar. Hasil daripada usaha itu, beliau telah menjadi seorang yang amat mahir dalam bidang sains, falak, matematik, geometri, perubatan, dan falsafah. Tulisannya mengenai mata, telah menjadi salah satu rujukan yang penting dalam bidang pengajian sains di Barat.
Malahan kajiannya mengenai perubatan mata telah menjadi asas kepada pengajian perubatan moden mengenai mata. Ibnu Haitham merupakan ilmuwan yang gemar melakukan penyelidikan. Penyelidikannya mengenai cahaya telah memberikan ilham kepada ahli sains barat seperti Boger, Bacon, dan Kepler mencipta mikroskop serta teleskop. Beliau merupakan orang pertama yang menulis dan menemui pelbagai data penting mengenai cahaya. Beberapa buah buku mengenai cahaya yang ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris, antaranya ialah Light dan On Twilight Phenomena. Kajiannya banyak membahaskan mengenai senja dan lingkaran cahaya di sekitar bulan dan matahari serta bayang bayang dan gerhana.
Menurut Ibnu Haitham, cahaya fajar bermula apabila matahari berada di garis 19 darjah di ufuk timur. Warna merah pada senja pula akan hilang apabila matahari berada di garis 19 darjah ufuk barat. Dalam kajiannya, beliau juga telah berjaya menghasilkan kedudukan cahaya seperti bias cahaya dan pembalikan cahaya. Ibnu Haitham juga turut melakukan percubaan terhadap kaca yang dibakar dan dari situ terhasillah teori lensa pembesar. Teori itu telah digunakan oleh para saintis di Itali untuk menghasilkan kanta pembesar yang pertama di dunia. Yang lebih menakjubkan ialah Ibnu Haitham telah menemui prinsip isi padu udara sebelum seorang saintis yang bernama Trricella mengetahui perkara itu 500 tahun kemudian.
Ibnu Haitham juga telah menemui kewujudan tarikan graviti sebelum Issaac Newton mengetahuinya. Selain itu, teori Ibnu Haitham mengenai jiwa manusia sebagai satu rentetan perasaan yang bersambung-sambung secara teratur telah memberikan ilham kepada saintis barat untuk menghasilkan wayang gambar. Teori beliau telah membawa kepada penemuan filem yang kemudiannya disambung-sambung dan dimainkan kepada para penonton sebagaimana yang dapat kita tontoni pada masa kini.
Selain sains, Ibnu Haitham juga banyak menulis mengenai falsafah, logik, metafizik, dan persoalan yang berkaitan dengan keagamaan. Beliau turut menulis ulasan dan ringkasan terhadap karya-karya sarjana terdahulu. Penulisan falsafahnya banyak tertumpu kepada aspek kebenaran dalam masalah yang menjadi pertikaian. Padanya pertikaian dan pertelingkahan mengenai sesuatu perkara berpunca daripada pendekatan yang digunakan dalam mengenalinya. Beliau juga berpendapat bahawa kebenaran hanyalah satu. Oleh sebab itu semua dakwaan kebenaran wajar diragui dalam menilai semua pandangan yang sedia ada. Jadi, pandangannya mengenai falsafah amat menarik untuk disoroti.
Bagi Ibnu Haitham, falsafah tidak boleh dipisahkan daripada matematik, sains, dan ketuhanan. Ketiga-tiga bidang dan cabang ilmu ini harus dikuasai dan untuk menguasainya seseorang itu perlu menggunakan waktu mudanya dengan sepenuhnya. Apabila umur semakin meningkat,kekuatan fizikal dan mental akan turut mengalami kemerosotan.Ibnu Haitham membuktikan pandangannya apabila beliau begitu ghairah mencari dan mendalami ilmu pengetahuan pada usia mudanya. Sehingga kini beliau berjaya menghasilkan banyak buku dan makalah. Antara bukukaryanya termasuk:
1. Al'Jami' fi Usul al'Hisab yang mengandungi teori-teori ilmu metametik dan metametik penganalisaannya;
2. Kitab al-Tahlil wa al'Tarkib mengenai ilmu geometri;
3. Kitab Tahlil ai'masa^il al 'Adadiyah tentang algebra;
4. Maqalah fi Istikhraj Simat al'Qiblah yang mengupas tentang arah kiblat bagi segenap rantau;
5. M.aqalah fima Tad'u llaih mengenai penggunaan geometri dalam urusan hukum syarak.
6. Risalah fi Sina'at al-Syi'r mengenai teknik penulisan puisi.
Sumbangan Ibnu Haitham kepada ilmu sains dan falsafah amat banyak. Kerana itulah Ibnu Haitham dikenali sebagai seorang yang miskin dari segi material tetapi kaya dengan ilmu pengetahuan. Beberapa pandangan dan pendapatnya masih relevan sehingga ke hari ini. Walau bagaimanapun sebahagian karyanya lagi telah "dicuri" dan "diceduk" oleh ilmuwan Barat tanpa memberikan penghargaan yang sewajarnya kepada beliau.
5). Ibnu Tufail
Ahli falsafah yang mendahului zaman.Sesungguhnya barat patut berterima kasih kepada Ibnu Haitham dan para sarjana Islam kerana tanpa mereka kemungkinan dunia Eropah masih diselubungi dengan kegelapan. Kajian Ibnu Haitham telah menyediakan landasan kepada perkembangan ilmu sains dan pada masa yang sama tulisannya mengenai falsafah telah membuktikan keaslian pemikiran sarjana Islam dalam bidang ilmu tersebut yang tidak lagi dibelenggu oleh pemikiran falsafah Yunani.
Dunia Islam telah melahirkan ramai ahli falsafah yang hebat. Namun begitu, falsafah Islam tetap dianggap sebagai satu kelompok yang hilang dalam sejarah pemikiran manusia. Maka tidak hairanlah, sejarah lebih mengenali tokoh-tokoh falsafah Yunani dan barat jika dibandingkan dengan ahli falsafah Islam.
Walaupun beberapa tokoh falsafah Islam seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina mendapat pengiktirafan dari Barat, tetapi mereka tidak mendapat tempat yang sewajarnya jika dibandingkan dengan ahli falsafah Yunani seperti Plato dan Aristotle. Kajian-kajian mengenai tokoh berkenaan masih belum memadai dan jauh daripada memuaskan.
Walaupun para sarjana, ilmuwan, dan ahli falsafah Islam telah menghasilkan sejumlah karya-karya yang besar tetapi kebanyakan tulisan mereka belum diterjemahkan.
Tidak kurang juga yang musnah disebabkan oleh peperangan dan penaklukan yang dilakukan oleh kuasa asing. Malahan kajian yang dibuat terhadap pemikiran falsafah beberapa tokoh terkenal seperti Ibnu Rusyd tidak diberikan penilaian yang adil. Kajian dan terjemahan yang dibuat oleh S.Van den Berg terhadap kitab "Lima Baida al-Thaan", tulisan Ibnu Rusyd mengenai metafizik misalnya tidak mendapat sorotan yang meluas wahal kajian tersebut dapat membantu kita memahami dan mendekati pemikiran ahli falsafah itu dengan lebih mendalam lagi.
Begitu juga dengan pemikiran falsafah Ibn Tufail tidak banyak diketahui oleh umat Islam sendiri. Ibn Tufail yang lahir pada tahun 1106 Masihi di Asya, Granada lebih dikenali sebagai ahli hukum, perubatan, dan ahli politik yang handal. Semasa pemerintahan al-Mu'min ibn Ali, Ibn Tufail atau nama asalnya, Abu Bakr Muhammad ibn Abdul Malik ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Tufail al-Qisi pernah dilantik sebagai pembantu gabenor Wilayah Sabtah dan Tonjah di Maghribi.
Beliau juga pernah menjadi doktor peribadi kepada pemerintah al-Muwahidin, Abu Ya'kub Yusuf. Selepas bersara, tempatnya digantikan oleh anak muridnya iaitu Ibnu Rusyd. Semasa hayatnya, Ibn Tufail pernah dilantik sebagai menteri dan merupakan ahli politik yang dihormati oleh pihak pemerintah.
Selain itu, beliau juga melibatkan dirinya dalam bidang pendidikan, pengadilan, dan penulisan. Walaupun Ibn Tufail dikatakan telah menulis banyak buku tetapi hanya sebuah sahaja kitab yang diwariskan kepada generasi umat Islam hari ini. Kitab itu ialah "Hay ibn Yaqzan" yang memuatkan pandangannya secara umum, dengan gaya bahasa yang menarik dan imiginasi yang indah. Buku ini dianggap sebagai warisan paling unik yang ditinggalkan oleh seorang ahli falsafah Islam.
Buku ini kemudiannya diterjemahkan ke dalam berbagai-bagai bahasa dunia. Yang menarik dalam buku itu, Ibn Tufail berusaha menerangkan bagaimana manusia mempunyai potensi untuk mengenali Allah. Katanya, semua ini dapat dilakukan dengan membuat penelitian terhadap alam sekitar dan sekelilingnya.
Menerusi buku itu, Ibn Tufail cuba merangka satu sistem falsafah berdasarkan perkembangan pemikiran yang ada pada diri manusia. Beliau berusaha mengungkap persoalan serta hubungan antara manusia, akal, dan Tuhan. Untuk itu, beliau telah menggunakan watak Hayibn Yaqzan yang hidup di sebuah pulau di Khatulistiwa sebagai gambaran percampuran empat unsur penting dalam kehidupan iaitu panas, sejuk, kering, dan basah dengan tanah. Watak itu hidup terpencil dan dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan pimpinan akal dan bantuan pancaindera. Langkah Ibn Tufail menggunakan analog! watak tersebut dalam bukunya dianggap sebagai suatu perkara yang luar biasa dalam penulisan karya yang berbentuk falsafah.
Watak itu tidak pernah mengenali kedua-dua ibu bapanya. Tetapi alam telah memberinya seekor kijang yang menyusu dan memberinya makan. Setelah dewasa, dia mengarahkan pandangannya terhadap perkara yang ada di sekelilingnya. Di sini dia mulai membahaskan tentang kejadian dan rahsia perubahan yang berlaku disekelilingnya. Pada anggapannya di sebalik alamnya terdapat sebab-sebab yang tersembunyi yang mentadbir dan membentuknya. Hay bin Yaqzan selalu membahas dan menganalisa sesuatu perkara sehingga dia mampu mengetahui bahawa kebahagian dan kesengsaraan manusia itu bergantung kepada hubungannya dengan Allah. Dengan watak "Hay" itu, Ibn Tufail berjaya membuat huraian yang menarik sekaligus membantu kita memahami pemikiran falsafahnya.
Buku itu juga mengandungi pengamatan Ibn Tufail mengenai ilmu metafizik, matematik, fizik, dan sebagainya. Ibnu Tufail melihat alam ini sebagai baru dan ditadbir oleh Tuhan yang satu dan berkuasa penuh. Dalam diri manusia pula terdapat roh yang menjadi sumber dan asas kehidupan mereka di muka bumi ini. Falsafah Ibn Tufail bukan sekadar menyentuh perkara yang berkaitan dengan metafizik tetapi juga sains tabii seperti fizik. Ibn Tufail mendapati bahawa lapisan udara yang tinggi lebih sejuk dan nipis daripada lapisan yang rendah. Hal ini disebabkan kepanasan berlaku di permukaan bumi bukannya di ruang dan lapisan udara.
Beliau juga mendapati bahawa kepanasan boleh dihasilkan melalui geselan, gerakan cahaya sama ada daripada apt ataupun matahari. Meskipun pandangan itu dianggap sebagai satu perkara yang biasa pada hari ini tetapi pandangan ini sebenarnya telah menyediakan landasan kepada ahli sains untuk melakukan kajian terhadap kepanasan dan segala fenomena yang berkaitan dengannya. Pemikiran falsafah Ibn Tufail juga meliputi perkara yang berhubung dengan masyarakat. Beliau menyifatkan masyarakat terdiri daripada sebahagian besar anggota-anggota yang malas. Lantaran itu, mereka mudah terpengaruhi dan terikut-ikut dengan nilai yang sedia ada tanpa mahu memperbahaskannya.
Ibnu Tufail hidup hampir sezaman dengan Ibnu Bajjah. Maka sebab itu beliau mudah menerima pandangan falsafah Ibnu Bajjah, al-Farabi, dan beberapa ahli falsafah Islam yang lain dengan baik. Menurut sesetengah pengkaji dan pemikir, Ibn Tufail banyak dipengaruhi oleh falsafah Ibnu Bajjah sebagaimana yang dapat diperhatikan pada pertengahan buku Hay bin Yaqzan yang banyak membawa saranan yang terdapat dalam kitab "al-Mutawwahid". Dalam buku itu, Ibnu Bajjah telah melakukan pembelaan terhadap tulisan-tulisan al Farabi dan Ibnu Sina.
Namun begitu, Ibnu Tufail tidak menerima sarangan itu bulat-bulat melainkan selepas dibahaskan secara kritis. Selain itu beliau seorang yang berpegang kepada logik dalam mengungkap realiti alam dan kehidupan manusia.
Barangkali bertitik tolak daripada sikapnya itu, beliau tidak menyepi dan mengasingkan diri seperti mana yang dilakukan oleh segelintir ahli falsafah lain. Sebaliknya beliau bergiat dalam hal-hal yang berkaitan dengan kemasyarakatan dan mengambil bahagian secara aktif dalam urusan pemerintahan serta kenegaraan. Kegiatan ini dilakukannya sehingga beliau menghembuskan nafas yang terakhir pada 1185 Masihi.
6). Ibnu Bajjah
Umat Islam dipercayai telah sampai ke Sepanyol pada zaman sahabat lagi. Kedatangan mereka telah berjaya mempengaruhi kehidupan masyarakat di sana khususnya dalam bidang yang berkaitan keilmuan dan ketarnadunan. Bahkan kesan tamadun Islam masih dapat dilihat sehingga ke hari ini.Sepanjang pemerintahan Islam di Sepanyol yang juga dikenali sebagai Andalusia, telah lahir ramai cendi-kiawan dan sarjana dalam pelbagai bidang. Sebahagian mereka ialah ahli sains, matematik, astronomi, perubatan, falsafah, sastera, dan sebagainya.
Salah seorang mereka ialah Abu Bakr Muhammad Ibn Yahya al-Saigh atau lebih terkenal sebagai Ibn Bajjah. Beliau dilahirkan di Saragossa pada tahun 1082 Masihi (M). Ibn Bajjah merupakan seorang sasterawan dan ahli bahasa yang unggul. Dalam hal ini, beliau pernah menjadi penyair bagi golongan al-Murabbitin yang dipimpin oleh Abu
Bakr Ibrahim Ibn Tafalwit.
Selain itu, Ibn Bajjah juga merupakan seorang ahli muzik dan pemain gambus yang handal. Sungguhpun begitu beliau juga seorang yang hafiz al-Quran. Dalam masa yang sama, Ibn Bajjah amat terkenal dalam bidang perubatan dan merupakan salah seorang doktor teragung yang pernah dilahirkan di Andalusia.Walau bagaimanapun, kehebatannya turut terserlah dalam bidang politik sehingga beliau dilantik menjadi menteri semasa Abu Bakr Ibrahim berkuasa di Saragossa. Lebih menakjubkan lagi apabila beliau dapat
menguasai ilmu matematik, fizik, dan falak.
Pada kesempatan itu beliau banyak menulis buku yang berkaitan dengan ilmu logik. Kemampuannya menguasai berbagai-bagai ilmu itu menjadikannya seorang sarjana yang teragung bahkan tiada bandingannya di Andalusia dan barangkali di dunia Islam. Jadi, sumbangannya dalam bidang keilmuan begitu besar sekali.Dalam bidang falsafah umpamanya, Ibn Bajjah boleh diletakkan setaraf dengan al-Farabi dan Aristotle. Dalam bidang ini beliau telah mengemukakan gagasan fal¬safah ketuhanan yang menetapkan bahawa manusia boleh berhubung dengan akal fa'al melalui perantaraan ilmu pengetahuan dan pembangunan potensi manusia.
Menurut Ibnu Bajjah, manusia boleh mendekati Tuhan melalui amalan berfikir dan tidak semestinya melalui amalan tasawuf yang dikemukakan oleh Iman al-Ghazali. Dengan ilmu dan amalan berfikir, segala keutamaan dan perbuatan moral dapat diarahkan untuk memimpin serta menguasai jiwa. Usaha ini boleh menumpaskan sifat haiwaniah yang bersarang dalam hati dan diri manusia.Berdasarkan pendapatnya, seseorang itu harus mengupayakan perjuangannya untuk berhubung dengan alam sama ada bersama-sama dengan masyarakatnya ataupun secara terpisah.
Kalau masyarakat itu tidak baik maka seseorang itu harus menyepi dan menyendiri. Pandangan falsafah Ibn Bajjah ini jelas dipengaruhi oleh idea-idea al-Farabi. Pemikiran falsafah Ibn Bajjah ini dapat diikuti dalam "Risalah al-Wida" dan kitab "Tadbir al-Muttawwahid" yang secara umumnya merupakan pembelaan kepada karya-karya al-Farabi dan Ibn Sina kecuali bahagian yang berkenaan dengan sistem menyepi dan menyendiri.Namun, ada sesetengah pengkaji mengatakan bahawa kitab tersebut sama dengan buku "al-Madinah al'Fadhilah" yang ditulis oleh al-Farabi. Dalam buku itu, al-Farabi menjelaskan pandangan beliau mengenai politik dan falsafah.
Al-Farabi semasa membicarakan tentang politik telah mencadangkan supaya sebuah negara kebajikan yang diketuai oleh ahli falsafah diwujudkan. Satu persamaan yang ketara antara al-Farabi dengan Ibn Bajjah ialah kedua-duanya meletakkan ilmu mengatasi segala-galanya. Mereka hampir sependapat bahawa akal dan wahyu merupakan satu hakikat yang padu. Sebarang percubaan untuk memisahkan kedua-duanya hanya akan melahirkan sebuah masyarakat dan negara yang pincang.
Oleh sebab itu, akal dan wahyu harus menjadi dasar dan asas pembinaan sebuah negara serta masyarakat yang bahagia. Ibn Bajjah berpendapat bahawa akal boleh menyebabkan manusia mengenali apa sahaja kewujudan sama ada benda atau Tuhan. Akal boleh mengenali dengan sendiri perkara-perkara tersebut tanpa dipengaruhi oleh unsur-unsur kerohanian melalui amalan tasawuf.
Selain itu, Ibn Bajjah juga telah menulis sebuah buku yang berjudul "aI-Nafs" yang membicarakan persoalan yang berkaitan dengan jiwa. Pembicaraan itu banyak dipengaruhi oleh gagasan pemikiran falsafah Yunani. Oleh sebab itulah, Ibn Bajjah banyak membuat ulasan terhadap karya dan hasil tulisan Aristotle, Galenos, al-Farabi, dan al-Razi.
Minatnya dalam soal-soal yang berkaitan dengan ketuhanan dan metafizik jauh mengatasi bidang ilmu yang lain meskipun beliau turut mahir dalam ilmu psikologi,politik, perubatan, algebra, dan sebagainya. Sewaktu membicarakan ilmu logik, Ibn Bajjah berpendapat bahawa sesuatu yang dianggap ada itu sama ada benar-benar ada atau tidak ada bergantung pada sama ada diyakini ada atau hanyalah suatu
kemungkinan. Justeru itu, apa yang diya¬kini itulah sebenarnya satu kebenaran dan sesuatu kemungkinan itu boleh jadi mungkin benar dan tidak benar.Sebenarnya, banyak perkara di dunia ini yang tidak dapat dihuraikan menggunakan logik. Jadi, Ibnu Bajjah belajar ilmu-ilmu lain untuk membantunya memahaminya hal-hal berkaitan dengan metafizik.
Ilmu sains dan fizik misalnya digunakan oleh Ibn Bajjah untuk menghuraikan persoalan benda dan rupa. Menurut Ibn Bajjah, benda tidak mungkin wujud tanpa rupa tetapi rupa tanpa benda mungkin wujud. Oleh sebab itu, kita boleh menggambarkan sesuatu dalam
bentuk dan rupa yang berbeza-beza. Kemahiran Ibn Bajjah dalam bidang matematik dan fizik sememangnya diperakui tetapi beliau tidak cuba menyelesaikan permasalahan yang
timbul. Sebaliknya ilmu itu digunakan untuk menguatkan hujah dan pandangannya mengenai falsafah serta persoalan metafizik.
Masih banyak lagi pemikiran falsafah Ibn Bajjah yang tidak diketahui kerana sebahagian besar karya tulisannya telah musnah. Bahan yang tinggal dan sampai kepada kita hanya merupakan sisa-sisa dokumen yang berselerakan di beberapa perpustakaan di Eropah. Sesetengah pandangan falsafahnya jelas mendahului zamannya. Sebagai contoh, beliau telah lama menggunakan ungkapan manusia sebagai makhluk sosial, sebelum para sarjana Barat berbuat demikian.
Begitu juga konsep masyarakat madani telah dibicarakan dalam tulisannya secara tidak langsung. Sesungguhnya Ibn Bajjah merupakan tokoh ilmuwan yang hebat. Sesuai dengan itu beliau telah diberikan kedudukan dan penghormatan yang tinggi oleh orang Murabbitin. Tetapi perasaan dengki dan cemburu telah menyebabkan beliau diracuni dan akhirnya meninggal dunia pada tahun 1138 (M) dalam usia yang masih muda. Biarpun umur Ibn Bajjah tidak panjang tetapi sumbangan dan pemikirannya telah meletakkan tapak yang kukuh kepada perkembangan ilmu dan falsafah di bumi Andalusia
7) Al-Biruni
Ahli falsafah yang serba boleh.Pada zaman awal kedatangan Islam, masyarakat Islam tidak begitu terdedah kepada ilmu falsafah. Walau bagaimanapun menjelang abad ke-3, para sarjana Islam mulai memberikan perhatian kepada persoalan dan pemikiran yang berkaitan dengan falsafah.
Asas kepada falsafah yang dipelopori oleh para ilmuwan Islam, berpaksikan ajaran Islam dan kalimah syahadah bertujuan untuk meningkatkan keyakinan dan ketakwaan umat Islam. Berbeza dengan falsafah Yunani yang lebih tertumpu kepada pencarian kebenaran berlandaskan pemikiran dan logik semata-mata sehingga menimbulkan kekeliruan serta kecelaruan yang tidak berpanjangan.
Aliran falsafah pada zaman Islam tidak sekadar membataskan perbicaraan kepada persoalan yang berkaitan dengan metafizika ketuhanan dan kejadian alam. Tetapi juga meliputi perbincangan yang berkaitan dengan nilai-nilai akhlak, masyarakat, dan kemanusiaan. Walaupun ahli falsafah pernah dicap oleh Imam Al-Ghazali sebagai golongan yang sesat lagi menyesatkan, tetapi perkembangan ilmu falsafah itu telah berjaya membantu menyelesaikan pelbagai persoalan keagamaan, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan bidang-bidang lain.
Wahyu sebenarnya tidak bercanggah dengan akal. Menerusi paduan wahyu dan akal seperti yang dicernakan oleh para ilmuwan Islam telah berjaya membantu meletakkan batu asas yang kukuh kepada pembinaan peradaban Islam.
Kerana itu, umat Islam digalakkan mencari dan menimba ilmu hatta sampai ke negara China. Dorongan yang diberikan oleh Islam itu telah memberikan semacam motivasi kepada para sarjana Islam untuk terus menggali dan mempelajari pelbagai ilmu pengetahuan sama ada di timur ataupun barat.
Salah seorang ilmuwan tersebut ialah Al Biruni atau nama asalnya Abu al-Raihan Muhammad ibn Ahmad al-Biruni. Beliau dilahirkan pada tahun 362 H (973 M) diBirun, ibu negara Khawarizm atau lebih dikenali sebagai Turkistan. Gurunya yang terawal ialah Abu Nasr Mansur ibn Alt ibn Iraqin yang juga merupakan seorang pakar ilmu matematik dan alam.
Minat dan kecenderungannya untuk mempelajari serta meluaskan dimensi ilmu pengetahuannya telah mendorong Al-Biruni merantau sehingga ke negara India. Tetapi semasa berada di India, Al-Biruni telah ditawan oleh Sultan Mahmood al-Ghaznawi. Setelah menyedari keilmuwannya beliau ditugaskan di istana sebagai salah seorang ulama. Kesempatan itu digunakan sepenuhnya oleh Al-Biruni untuk mempelajari bahasa Sanskrit dan bahasa lain di India.
Di sana beliau mengambil kesempatan untuk mengenali agama Hindu dan falsafah India. Hasilnya beliau telah menulis beberapa buah buku yang mempunyai hubungan dengan masyarakat India dan kebudayaan Hindu.
Dalam satu tulisannya, beliau menyatakan bahawa ajaran Hindu berasaskan konsep penjelmaan yang mempunyai persamaan dengan syahadah Tauhid dalam Islam dan triniti dalam agama Kristian.
Tembok penjara tidak menjadi penghalang kepada Al-Biruni untuk terus menuntut dan menghasilkan karya-karya yang besar dalam pelbagai bidang. Sumbangannya kepada ilmu dan peradaban India amat besar. Sumbangannya yang paling penting ialah dalam penciptaan kaedah penggunaan angka-angka India dan kajiannya mencari ukuran bumi menggunakan kiraan matematik. Beliau juga telah berjaya menghasilkan satu daftar yang mengandungi peta dan kedudukan ibu-ibu negara di dunia.
Semasa berada dalam tawanan itu, Al-Biruni juga menggunakan seluruh ruang dan peluang yang ada untuk menjalinkan hubungan antara para ilmuwan sekolah tinggi Baghdad dan para sarjana Islam India yang tinggal dalam istana Mahmud al Ghaznawi.
Selepas dibebaskan, beliau telah menulis sebuah buku yang berjudul Kitab Tahdid al Nih-ayat al Amakin Lita'shih al Masafat al Masakin. Di samping itu, beliau turut mendirikan sebuah pusat kajian astronomi mengenai sistem solar yang telah membantu perkembangan pengajian ilmu falak pada tahun-tahun yang mendatang. Kajiannya dalam bidang sains, matematik, dan geometrik telah menyelesaikan banyak masalah yang tidak dapat diselesaikan sebelum ini.
Penguasaannya terhadap pelbagai ilmu pengetahuan dan bidang telah menyebabkan beliau digelar sebagai "Ustaz fil Ulum" atau guru segala ilmu. Penulisannya tentang sejarah Islam telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul "Chronology of Ancient Nation". Banyak lagi buku tulisan Al-Biruni diterbitkan di Eropah dan tersimpan dengan baiknya di Museum Escorial, Sepanyol. Dalam sepanjang hidupnya
Al-Biruni telah menghasilkan lebih 150 buah buku termasuk satu senarai kajian yang mengandungi 138 tajuk.
Antara buku itu ialah Al-Jamahir fi al-Jawahir yakni mengenai batu-batu permata; Al-Athar al-Baqiah berkaitan kesan-kesan lama tinggalan sejarah dan Al-Saidalah fi al-Tibb, tentang ubat-ubatan. Karya ini dikatakan karyanya yang terakhir sebelum meninggal dunia pada 1048M.
Al-Biruni bukan sahaja dapat menguasai bahasa Sanskrit dengan baik tetapi juga bahasa-bahasa Ibrani dan Syria. Beliau yang memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang falsafah Yunani menjadikannya seorang sarjana agung yang pernah dilahirkan oleh dunia Islam. Al-Biruni berjaya membuktikan bahawa gandingan falsafah dan ilmu pengetahuan telah membolehkan agama terus hidup subur dan berkembang serta membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh umat.
Pemikiran falsafahnya tidak semata-mata bersandarkan kepada imaginasi dan permainan logik tetapi berdasarkan kepada kajian yang dilakukannya secara empirikal. Kepakarannya dalam ilmu Islam tidak boleh dipertikaikan kerana dalam umur yang masih muda lagi beliau telah menghasilkan sebuah karya besar yang berjudul Kitabul Asar al baqiya 'Anil Quran al Khaliya.
Sebelum ke India, Al-Biruni sering menjalinkan hubungan dengan Ibnu Sina. Keadaan ini menjadi bukti pengiktirafan ilmuwan Islam lain terhadap ketokohan dan kesarjanaannya. Sekali gus menjadikan beliau seorang ahli falsafah Islam yang serba boleh dengan sumbangan yang telah memberikan manfaat yang besar kepada manusia seluruhnya.
Dalam masa yang sama, Al-Biruni juga membuktikan bahawa golongan ahli falsafah bukan merupakan golongan yang sesat dan hidup di awang-awangan. Sebaliknya mereka merupakan golongan ilmuwan yang perlu diberi pengiktirafan. Peranan dan kedudukan mereka amat besar dalam pembinaan tamadun Islam serta peradaban manusia.
Sesungguhnya kemunculan Al-Biruni sebagai tokoh ilmuwan tersohor telah mengangkat martabat ahli falsafah daripada terus diberikan pelbagai stigma dan label yang berbentuk negatif serta merubah peranan yang sepatutnya dimainkan oleh ahli falsafah itu sendiri.
8). Al-Farabi
Digelar Aristotle kedua.Tulisan ahli falsafah Yunani seperti Plato dan Aristotle mempunyai pengaruh yang besar terhadap pemikiran ahli falsafah Islam. Salah seorang ahli falsafah Islam yang terpengaruh dengan pemikiran kedua tokoh tersebut ialah Al-Farabi.
Nama sebenarnya Abu Nasr Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Tarkhan Ibnu Uzlaq Al Farabi. Beliau lahir pada tahun 874M (260H) di Transoxia yang terletak dalam Wilayah Wasij di Turki. Bapanya merupakan seorang anggota tentera yang miskin tetapi semua itu tidak menghalangnya daripada mendapat pendidikan di Baghdad. Beliau telah mempelajari bahasa Arab di bawah pimpinan Ali Abu Bakr Muhammad ibn al-Sariy.
Selepas beberapa waktu, beliau berpindah ke Damsyik sebelum meneruskan perjalanannya ke Halab. Semasa di sana, beliau telah berkhidmat di istana Saif al-Daulah dengan gaji empat dirham sehari. Hal ini menyebabkan dia hidup dalam keadaan yang serba kekurangan.
Al-Farabi terdidik dengan sifat qanaah menjadikan beliau seorang yang amat sederhana, tidak gilakan harta dan cintakan dunia. Beliau lebih menumpukan perhatian untuk mencari ilmu daripada mendapatkan kekayaan duniawi. Sebab itulah Al-Farabi hidup dalam keadaan yang miskin sehingga beliau menghembuskan nafas yang terakhir pada tahun 950M (339H).
Walaupun Al-Farabi merupakan seorang yang zuhud tetapi beliau bukan seorang ahli sufi. Beliau merupakan seorang ilmuwan yang cukup terkenal pada zamannya. Dia berkemampuan menguasai pelbagai bahasa.
Selain itu, dia juga merupakan seorang pemuzik yang handal. Lagu yang dihasilkan meninggalkan kesan secara langsung kepada pendengarnya. Selain mempunyai kemampuan untuk bermain muzik, beliau juga telah mencipta satu jenis alat muzik yang dikenali sebagai gambus.
Kemampuan Al-Farabi bukan sekadar itu, malah beliau juga memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam dalam bidang perubatan, sains, matematik, dan sejarah. Namun, keterampilannya sebagai seorang ilmuwan yang terulung lebih dalam bidang falsafah. Bahkan kehebatannya dalam bidang ini mengatasi ahli falsafah Islam yang lain seperti Al-Kindi dan Ibnu Rusyd.
Dalam membicarakan teori politiknya, beliau berpendapat bahawa akal dan wahyu adalah satu hakikat yang padu. Sebarang percubaan dan usaha untuk memisahkan kedua-dua elemen tersebut akan melahirkan sebuah negara yang pincang serta masyarakat yang kacau-bilau. Oleh itu, akal dan wahyu perlu dijadikan sebagai dasar kepada pembinaan sebuah negara yang kuat, stabil serta makmur.
Al-Farabi banyak mengkaji mengenai falsafah dan teori Socrates, Plato, dan Aristotle dalam usahanya untuk menghasilkan teori serta konsep mengenai kebahagiaan. Maka tidak hairanlah, Al-Farabi dikenali sebagai orang yang paling memahami falsafah Aristotle. Dia juga merupakan seorang yang terawal menulis mengenai ilmu logik Yunani secara teratur dalam bahasa Arab.
Meskipun pemikiran falsafahnya banyak dipengaruhi oleh falsafah Yunani tetapi beliau menentang pendapat Plato yang menganjurkan konsep pemisahan dalam kehidupan manusia.
Menurut Al-Farabi, seorang ahli falsafah tidak seharusnya memisahkan dirinya daripada sains dan politlk. Sebaliknya perlu menguasai kedua-duanya untuk menjadi seorang ahli falsafah yang sempurna.
Tanpa sains, seorang ahli falsafah tidak mempunyai cukup peralatan untuk diekspolitasikan untuk kepentingan orang lain. Justeru, seorang ahli falsafah yang tulen tidak akan merasai sebarang perbezaan di antaranya dengan pemerintah yang tertinggi kerana keduanya merupakan komponen yang saling lengkap melengkapi. Dalam hal ini beliau mencadangkan agar diwujudkan sebuah negara kebajikan yang diketuai oleh ahli falsafah.
Pandangan falsafahnya yang kritikal telah meletakkannya sebaris dengan ahli falsafah Yunani yang lain. Dalam kalangan ahli falsafah Islam, beliau juga dikenali sebagai Aristotle kedua. Bagi Al-Farabi, ilmu segala-galanya dan para ilmuwan harus diletakkan pada kedudukan yang tertinggi dalam pemerintahan sesebuah negara.
Pandangan Al-Farabi ini sebenarnya mempunyai persamaan dengan falsafah dan ajaran Confucius yang meletakkan golongan ilmuwan pada tingkat hierarki yang tertinggi di dalam sistem sosial sesebuah negara.
Di samping itu, Al-Farabi juga mengemukakan banyak pandangan yang mendahului zamannya. Antaranya beliau menyatakan bahawa keadilan itu merupakan sifat semula jadi manusia, manakala pertarungan yang berlaku antara manusia merupakan gejala sifat semula jadi tersebut.
Pemikiran, idea, dan pandangan Al-Farabi mengenai falsafah politik terkandung dalam karyanya yang berjudul "Madinah al-Fadhilah". Perbicaraan mengenai ilmu falsafah zaman Yunani dan falsafah Plato serta Aristotle telah disentuhnya dalam karya " Ihsa* al-Ulum" dan "Kitab al-Jam".
Terdapat dua buku tidak dapat disiapkan oleh Al-Farabi di zamannya. Buku-buku itu ialah "Kunci Ilmu" yang disiapkan oleh anak muridnya yang bernama Muhammad Al Khawarismi pada tahun 976M dan "Fihrist Al-Ulum" yang diselesaikan oleh Ibnu Al-Nadim pada tahun 988M.
Al-Farabi juga telah menghasilkan sebuah buku yang mengandungi pengajaran dan teori muzik Islam, yang diberikan judul "Al-Musiqa" dan dianggap sebagai sebuah buku yang terpenting dalam bidang berkenaan.
Sebagai seeorang ilmuwan yang tulen, Al-Farabi turut memperlihatkan kecenderungannya menghasilkan beberapa kajian dalam bidang perubatan. Walaupun kajiannya dalam bidang ini tidak menjadikannya masyhur tetapi pandangannya telah memberikan sumbangan yang cukup bermakna terhadap perkembangan ilmu perubatan di zamannya.
Salah satu pandangannya yang menarik ialah mengenai betapa jantung adalah lebih penting berbanding otak dalam kehidupan manusia. Ini disebabkan jantung memberikan kehangatan kepada tubuh sedangkan otak hanya menyelaraskan kehangatan itu menurut keperluan anggota tubuh badan.
Sesungguhnya Al-Farabi merupakan seorang tokoh falsafah yang serba boleh. Banyak daripada pemikirannya masih relevan dengan perkembangan dan kehidupan manusia hari ini. Sementelahan itu, pemikirannya mengenai politik dan negara banyak dikaji serta dibicarakan di peringkat universiti bagi mencari penyelesaian dan sintesis terhadap segala kemelut yang berlaku pada hari ini.
Klik di sini untuk melanjutkan ===>>>>>>>
0 komentar:
Posting Komentar